The Vintage Book Chapter 2 : Note to Myself part 6

THE VINTAGE BOOK
CHAPTER 2
NOTE TO MYSELF
PART 6
Mungkin bukan
nasibku, lorong ini sepi. Dasa mendekatiku seperti South Hijau mendekatiku.
Untungnya, aku lebih pendek dari Dasa, jadi mata kami tidak akan bertemu. Tapi,
ia malah menunduk sedikit dan menatap tajam padaku. Aku hanya mengabaikannya.
" Kamu
enggak tahu apa akibatnya kalau kamu memukul orang sembarangan!,"
teriaknya memekakan telingaku. Aku hanya menutup telingaku dengan santai dan
memprotes pada Dasa. Sepertinya, aku suka membantah.
" Jangan
teriak-teriak di kuping orang ah. Pamali,". Ia melanjutkan amukannya. Tentu
saja dengan wajahnya yang menurut dia ganteng – jelek jelek -_-.
" Kamu
hampir bikin dia mati tau ga? Kepala dia udah berdarah parah kaya gitu.
Orang-orang panik sama keadaan dia," ucapnya dengan menatap tajam
kepadaku. Hih, jadi ini amukannya Dasa. Dia bisa marah juga ya. Tapi, aku masih
melihat kebaikan di matanya itu dan menjawabnya.
" Dia
terlalu menyebalkan," ucapku dengan tersenyum kepadanya. Dia sempat
tersenyum tipis padaku dan berubah lagi ukiran wajahnya. Ia mengangkat
tangannya kebelakang dan sempat berkata sesuatu.
" Kalau dia
mati gimana?! Kamu akan merusak nama baik Luminosa!," teriaknya sembari
memukulkan tangannya ke dinding. Aku yakin, tadinya dia mau memukulku. Tapi,
enggak jadi.
Hm, ngapain dia
pedulikan Luminosa? Aku yang terlahir sebagai Luminosa biasa-biasa saja tuh.
Aku melirik ke
sebelah kiri dan aku terkejut. Dia merusak dinding dengan sekali pukul.
Dindingnya retak. Retak parah. Mungkin rumah sakit akan mencurigainya -
sepertinya tidak, karena ini bukan di bumi. Inikan di Kahyangan. Aku lupa.
"
Kenapa?," tanyaku dengan deg-degan. Laki-laki kalau marah menyeramkan ya.
Ternyata marahnya Dasa mirip dengan guru kesiswaan. Sudah berkumis, tukang
marah lagi. Beruntung, aku belum pernah dimarahi. Yah, hanya saja, aku pernah
dipanggil ke depan karena aku menjuarai suatu lomba.
" Aku enggak
mau melukai perempuan baik sepertimu," ucapnya diikuti dengan acara
memelukku. Kupikir dia menyeramkan, jadi aku biarkan saja. Mungkin ia merasa
lebih baik.
Enggak mungkinlah
aku berpikiran seperti itu. Aku langsung mendorongnya dan marah-marah pada Dasa
dan Dwistas.
“ Hei, setidaknya
kamu itu tidak memeluk perempuan yang bukan muhrim, bodoh,” ucapku dengan
marah-marah dan memukul lembut – karena memukul yang biasa saja akan
menyebabkan pingsan berkepanjangan – punggung anak laki-laki itu. Dwistas hanya tertawa dan sepertinya tersedak.
" Hei! Kamu juga Dwistas! Malah nontonin doang, kualatkan ga ngebantuin meredakan amarah Dasa?? Sekarang kamu keselek. Rasakan itu," ucapku dengan rasa kemenangan - dengan marah juga ya. Dwistas batuk-batuk dan sepertinya ia memohon maaf padaku. Aku hanya diam saja dan ingin masuk kedalam.
" East Luminosa, maafkan kelakuan gua tadi ya. Gua emang kadang gitu sih," ucapnya dengan menarik baju lenganku. Akupun menoleh dan tersenyum padanya.
" Tidak apa-apa. Lupakan saja," ucapku dengan bijaksana - sok-sokan bijaksana :v.
" Tapi gua tau lu bakalan menjauh dari gua. Iyakan?," ucapnya - tentu saja ia masih memegang bajuku. Aku hanya menatapnya dengan raut wajah yang datar. Dwistas yang melihatnya ikutan menarik bajuku dan memohon ampun.
" Maafkan aku yang terlalu asik makan popcorn ini nyonya Luminosa," ucapnya dengan wajah yang sok lucu seperti di komik-komik. Aku yang mendengar kata 'nyonya luminosa' langsung mendidih - hei, aku ini masih 15 tahun, masih sangat muda oke jangan panggil aku nyonya -karena nyonya itu sebutan untuk orang yang sudah tua seperti Dwistas. Diakan umurnya 200 tahunkan - sebenarnya yang dipanggil nyonya itu yang sudah menikah atau berumur 500 (?) tahun, aku tidak tahu. Yang pasti, nyonya itu terlihat tua! TUA!
" Jangan panggil aku nyonya. Udah lepasin ih," ucapku sembari menggoyang-goyangkan tanganku agar tangan mereka lepas. Mereka dengan teguh tetap menarik bajuku dan aku harus melepaskan tangan mereka.
" Hei, kalian ini ngapain sih?," tanya North Biru dengan kaget. Ya iyalah, aku ini seperti ibu yang akan meninggalkan dua anak kesayangannya untuk selamanya - tolong garis bawahi tulisan 'seperti' karena aku belum menjadi ibu-ibu.
" Mereka sedang memohon ampun padaku," ucapku dengan jengkel. Dia enggak peka apa kalau aku butuh bantuan disini?
" Ohh..," ucapnya sembari berjalan ke tempat sampah. Ia membuang kulit pisang ketempatnya dan kembali lagi ke tempatku. Sejujurnya, aku ingin ngamuk disini, tapi nanti fasilitas rumah sakitnya rusak. Hehe.
" Udahlah lepas aja tangan kalian. Lebay amat," ucap North Biru dan seketika tangan mereka berdua berpindah tempat. Aku langsung berterima kasih pada North Biru dan masuk kedalam. Ke ruang South Hijau.
Dwistas dan Dasa ikut masuk kedalam dan menyender di dinding.
Disitu, aku melihat ada North Dwiana, Central Putri, Central Ratu, Central Pamasa, Central Dayinta, West Merah, dan tentu saja anak yang terbaring lemah di kasur itu. Kasur yang melayang bagaikan tak terpengaruh oleh gravitasi bumi.
" South Hijau belum siuman?," tanyaku dengan melihat ke wajah anak laki-laki berambut putih itu.
" um.. belum," ucap North Dwiana. Aku melihat North Dwiana dengan raut wajah sedih. Aku pandai berbohong, dan dia tidak. Seperti North Biru.
" Ohh gitu, ya sudah. Aku akan menunggunya disini," ucapku seiring berpindahnya kakiku dan duduk di tempat duduk dekat kasur melayang itu. Kursinya juga melayang. Wah, sepertinya ini adalah ruangan mahal. Tapi, apakah mereka membayar?
" Oh iya, kamu mau makan apa East?," tanya Central Dayinta. Aku tidak tau apakah makanan disini sama dengan di bumi? Lebih baik, aku tanyakan Dwistas dan Dasa makanan apa yang mereka inginkan.
" Kalau Dwistas dan Dasa pesan apa?," tanyaku pada mereka berdua. Aku memperhatikan mereka berdua yang saling menatap sebentar dan tersenyum. Peristiwa itu sungguh menganggu mataku. Sangat silau.
Pinnya. Sepertinya Dasa memakai pin yang jika terkena sinar matahari akan terlihat silau. Sepertinya bagus, karena aku jarang melihatnya di Sekolah - kadang, orang kaya yang sombong suka pamer seperti itu, tapi tidak masuk dalam hitunganku.
" Aku suka beli soto, jadi aku pesan soto ke Central Dayinta," jawab Dasa dengan wajah yang sepertinya masih menyesali perbuatan tidak menyenangkan tadi. Aku hanya diam dan masih fokus melihat pinnya itu.
" Aku pesan yang manis-manis seperti coklat dan teman-temannya," jawab Dwistas dengan tersenyum. Aku hanya ber-ohh ria dan tidak memindahkan tatapanku dari pin itu.
" Aku sama dengan Dwistas. Tapi aku mau coklat. Jangan coklat hitam. Coklat putih aja atau coklat coklat," jawabku pada Central Dayinta. Ia mengiyakan permintaanku dan pergi bersama dengan tiga temannya.
West Merah yang sedari tadi diam, langsung berkata " jangan lupa kalau South Hijau pesan sate,". North Dwiana langsung panik dan berteriak.
" Jangan lupa kalau South Hijau ingin makan sate!," teriak North Dwiana yang tiba-tiba keluar ruangan dan sepertinya mengejar mereka berempat. Wah, sepertinya ia lari dengan kencang karena dibantu angin.
Langsung saja kututup pintunya. Ralat. Aku banting pintunya dan menimbulkan suara keras. Dwistas hanya tersenyum dan yang lain kaget setengah mati.
Aku berjalan lagi ke kasur South Hijau dan membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Di ruangan ini, hanya ada North Biru, Dwistas, Southeast Dasa, dan West Merah.
" Aku tau kalau kamu udah bangun! Enggak usah pura-pura kaya gitu, mesum!," teriakku ditelinga South Hijau dan menggoyang-goyangkan kasurnya. Ia tetap tidak mau bangun. Padahal, aku dapat merasakannya.
Aku melihat ke sekeliling dan tiap sudut ruangan ini. Tidak ada CCTV. Baguslah. Aku jadi bisa mengeluarkan amarahku.
" Temanmu itu tak pandai berbohong. Ajari dia cara berbohong yang baik dan benar dong!," sungguh, aku ingin menampar laki-laki ini sekarang juga. Tapi, nanti dia pingsan lagi. Tampar enggak ya?
" Tampar aja, kalau itu maumu," ucap West Merah. Ah, dia juga bisa baca pikiran ya. Bagus sih.
" Bagus sih kalau ada yang bisa baca pikiran disini selain si mesum rambut putih," ucapku dengan senyum yang menandakan kalau aku benar-benar marah. Bisa-bisanya ada orang yang berani membohongi seorang Luminosa.
" Keluarga Putih. Mereka bertiga adalah keturunan keluarga Putih. Sudah pasti mereka bukan asli dari sini.
Raja Putih, salah satu bangsawan yang kaya itu menikah dengan seorang perempuan dari distrik Timur. Dan katanya, Raja Putih berada disini, di Kahyangan. Ia salah satu dari beberapa bangsawan yang meninggalkan jejaknya di sini," cerita Dwistas dengan wajah yang datar.
Wow, aku baru tau Keluarga Putih. Sepertinya aku ketinggalan gosip di Sekolah. Tapi, sepertinya akan menjadi seru kalau aku dekat dengan salah satu keturunan Raja Putih yang bisa baca pikiran.
" Dan ia mewariskan kemampuan membaca pikiran siapapun pada kami bertiga," ucap North Biru dengan bangga. Aku hanya diam untuk mencerna lagi dan lagi. Yang aku inginkan hanyalah menampar anak ini, tapi kenapa malah menceritakan cerita seperti itu?
" Sayangnya, membaca pikiran seorang Luminosa lebih sulit daripada para Powerful," ucap South Hijau yang tiba-tiba bangun dari tidur pura-puranya. Langsung saja aku tampar dia dan nyerocos marah.
" kamu jangan berani bohongi aku dengan akting payahmu itu, mesum!," teriakku dengan wajah yang sudah memerah. Dwistas langsung mengatakan " kamu tau darimana kalau dia bohong?,".
" North Dwiana dan West Merah tidak pandai berbohong," jawabku dengan senyum terpaksa pada Dwistas.
" Apakah Luminosa bisa membaca pikiran?," tanya West Merah. Aku tidak tau apakah ia bertanya padaku atau pada Dwistas. Aku hanya diam dan menunggu seseorang menjawabnya.
" Dia bisa melakukan apapun yang ia suka. Tapi setiap orang memiliki batasannya masing-masing," ucap North Dwiana yang baru saja datang membuka pintu dan menutupnya kembali. Kenapa North Dwiana sudah kembali lagi ya?
" Aku mau keluar sebentar," ucapku berjalan keluar ruangan dan diam di tempat. Aku akan menguping sebentar.
Ketika aku memiringkan kepala ke sebelah kiri, terlihat bekas pukulan Dasa. Bekas pukulan itu seperti sedang menghajar mangsanya. Terlalu dalam, tidak mungkin aku masih hidup kalau ia melayangkan pukulan itu ke kepalaku.
Sembari asik melihat dinding yang jauh disana, aku menempelkan rapat-rapat telingaku di pintu.
" Hei, Dasa, jangan lupakan dinding yang tersakiti karena ulahmu," ucap North Dwiana dengan intonasi yang jutek. Aku yakin kalau Dasa akan membuka pintunya, jadi aku langsung berjalan melewati lorong dengan tergesa-gesa.
" East Luminosa, tunggu aku," ucapnya dengan suara yang berbisik padaku. Aku menoleh kebelakang dan menunggunya. Kulihat dia memperbaiki retakan dinding itu dengan tangannya sendiri. Tanpa disentuh. Siapakah dia?
" Kamu sebenarnya siapa?," tanyaku dengan mendekatinya dan melihat cara ia melakukannya.
" Aku adalah Powerful, aku salah satu dari 1/8 Power. Aku dari distrik Tenggara, dan aku mengendalikan tanah. Karena dinding ini terbuat dari tanah, aku bisa merubahnya kapanpun aku mau," jawabnya dengan menjelaskan secara detail - tidak detail juga ya.
" Oh iya, seorang Luminosa juga seorang Powerful. Kamu bisa merangkap dua atau lebih bakat istimewa ini. Luminosa memang diberikan kelebihan oleh Allah lewat perantaranya? Aku tidak tahu," ucapnya melanjutkan perkataannya tadi.
Aku? Bisa menjadi seorang Powerful seperti dia? Tapi, kekuatanku apa ya?
" Katanya mau ke kamar mandi, cepetan. Aku ngikutin dari belakang," ucapnya dengan mendorongku ke depan. Aku hanya mendelik dan yang tertera di otakku saat itu adalah..
Gila ini anak mau nemenin aku ke kamar mandi. Yang bener aja. Apa orang-orang enggak mikir yang aneh-aneh? -_-
Lorongnya bagus, mengingatkanku dengan lorong sekolah yang begitu tua. Apa mungkin lorong ini setua itu ya?
( Iapun ke kamar mandi dan Dasa menunggunya di luar. Ada beberapa perempuan yang lewat di depannya dan menyapanya. Mungkin, ia akan memiliki banyak fans disini.
Setelah itu, mereka kembali ke ruang rawat South Hijau, ketika di lorong..)
" Hei, kalian darimana aja?," tanya Central Dayinta. Aku hanya menjawab kalau kami berdua dari kamar mandi. Central Dayinta sempat mengernyitkan dahinya, dan aku mencoba menjelaskan padanya.
" Kita gak ngapa-ngapain di kamar mandi kok. Lagian juga, aku nungguin diluar, tanya in aja ke cewe cewe tadi. Mereka tadi ketemu sama aku kok. Terus sempet ngobrol juga," cerita Dasa dengan menggerak-gerakkan jarinya. Oh, sepertinya aku baru menyadari kebiasaan itu. Ia suka menggerakan jari-jarinya ketika menjelaskan sesuatu.
" Iya, kita gak ngapa-ngapain, keluar kamar mandi juga kita langsung pergi kesini. Tentunya lewat lorong, masa lewat lubang cacing, yang bener aja," ucapku dengan kata ambigu. Lubang cacing disini bisa berarti dua. Lubang cacing yang artinya lubang sebesar cacing dan lubang cacing yang artinya terowongan teoritis melalui struktur ruang-waktu yang memungkinkan perjalanan cepat antara satu titik ke titik lainnya yang berjarak puluhan hingga ratusan tahun cahaya secara singkat. Sumbernya dari perpustakaan besar Ganesapedia. Kalau enggak percaya, cari saja di web searcher Gugel.
" Oh, baguslah, ayo sini masuk," ajaknya masuk kedalam. Aku mempersilahkan Dasa yang masuk duluan. Awalnya, ia sempat menolak. " ladies first," begitu katanya. Tapi ia harus ingat satu hal. Aku bukan lady.
Karena kupaksa dengan nonverbal, akhirnya ia masuk duluan dan aku masuk yang terakhir. Ia kelihatan tinggi dari belakang. Dan aku melihat bajunya dengan seksama. Seperti ada sebuah tulisan. Tapi tulisan apa ya? Seperti tidak ada artinya. Mungkin akan kucari tahu nanti.
" East, ini coklatnya," lempar Dwistas ke arahku dan aku berhasil menangkapnya. Wow, dengan satu tangan, rekor terbaik haha. Aku langsung membuka bungkusnya dan memakannya dengan lahap. Aku kelaparan. Aku sangat sangat merasa kelaparan. Entahlah, pokoknya lapar.
" Terima kasih Dwistas," ucapku yang disambut dengan anggukan Dwistas. Yang lain asyik memakan makanan mereka. Kulihat North Dwiana dan North Biru mengobrol dengan asyik. Sepertinya mereka benar-benar dekat.
Dan aku melihat Dasa bersama Dwistas dan terlihat dekat sekali. Mungkin sebagai seorang partner memang seperti itu. Sangat dekat. Dan mungkin mereka menceritakan rahasia satu sama lain. Seandainya aku punya teman laki-laki seperti dia, mungkin aku tidak akan merasa gelisah karena rahasiaku takut bocor.
" Oh iya, kamarnya dimana?," tanyaku kepada orang-orang yang ada di ruangan itu. Dwistas langsung menghampiriku dan memintaku untuk mengeluarkan telgamku.
" Kamu pergi ke lantai 3, itu lantai khusus untuk ruang tinggal di gedung Eka. Aku akan mengirimkan informasi kamar mana yang akan kamu tempati nantinya. Sekarang nyalakan pertukaran datanya," ucapnya memerintah dan aku turuti. Lalu, file itu dikirimnya ke telgamku dengan cepat.
" Kalian yang sudah makannya lebih baik langsung pergi ke kamar masing-masing," ucap Dwistas dengan keras. Aku yang selesai pertama langsung pamit pada mereka. Aku keluar rumah sakit dan melihat betapa luasnya tempat ini. Dikejauhan, banyak sekali gedung-gedung aneh. Untungnya, rumah sakit ini tidak aneh. Baguslah.
~
Ternyata, gedung Eka sangat dekat. Hanya menaiki jembatan dan sampailah ke gedung Eka. Langsung saja aku menuju lantai 3. Aku menuju lift dan ternyata, liftnya mirip dengan yang ada di bumi! Lift itu transparan dan tidak membentuk balok, karena kita hanya menginjak sebuah perisai tipis dan dapat bergerak leluasa. Baru pertama kali aku mencoba lift dunia lain.
Angka 3 tertera didepanku dan aku langsung memasuki lantai itu. Lalu, aku membuka telgamku dan mencari file dari Dwistas. Informasi kamar. Nah, ketemu.
Disini tertera nomor kamarnya yaitu 2. Dan disini tertulis nama West Luminosa, North Luminosa, South Luminosa, dan East Luminosa. Yes! Aku sekamar dengan mereka! Langsung saja aku cari kamar nomor 2 ini dan mengetuknya.
" Halo, ini dengan East Luminosa yang baru saja menyelamatkan dunia," ucapku dengan sok kepedean - menyelamatkan dunia dari mana.
Ada yang membukanya! Yeay, aku bersyukur ada yang membuka karena ini masih tengah malam. Malam yang melelahkan.
" East Luminosa??!! Wah! Akhirnya kamu disini juga!," teriak South Luminosa kegirangan dan memelukku. Aku membalas pelukannya dan tertawa dengan tingkah laku keluargaku yang satu ini.
" Kamu harus ganti baju dulu, akan aku carikan," ucapnya sembari mencarikan baju untukku. Aku melihat-lihat atap kamar ini dan astaga, terlalu indah untuk dikatakan.
" Seni terlalu indah untuk dilihat," ucapku pada saat itu.
" Hei! Kamu juga Dwistas! Malah nontonin doang, kualatkan ga ngebantuin meredakan amarah Dasa?? Sekarang kamu keselek. Rasakan itu," ucapku dengan rasa kemenangan - dengan marah juga ya. Dwistas batuk-batuk dan sepertinya ia memohon maaf padaku. Aku hanya diam saja dan ingin masuk kedalam.
" East Luminosa, maafkan kelakuan gua tadi ya. Gua emang kadang gitu sih," ucapnya dengan menarik baju lenganku. Akupun menoleh dan tersenyum padanya.
" Tidak apa-apa. Lupakan saja," ucapku dengan bijaksana - sok-sokan bijaksana :v.
" Tapi gua tau lu bakalan menjauh dari gua. Iyakan?," ucapnya - tentu saja ia masih memegang bajuku. Aku hanya menatapnya dengan raut wajah yang datar. Dwistas yang melihatnya ikutan menarik bajuku dan memohon ampun.
" Maafkan aku yang terlalu asik makan popcorn ini nyonya Luminosa," ucapnya dengan wajah yang sok lucu seperti di komik-komik. Aku yang mendengar kata 'nyonya luminosa' langsung mendidih - hei, aku ini masih 15 tahun, masih sangat muda oke jangan panggil aku nyonya -karena nyonya itu sebutan untuk orang yang sudah tua seperti Dwistas. Diakan umurnya 200 tahunkan - sebenarnya yang dipanggil nyonya itu yang sudah menikah atau berumur 500 (?) tahun, aku tidak tahu. Yang pasti, nyonya itu terlihat tua! TUA!
" Jangan panggil aku nyonya. Udah lepasin ih," ucapku sembari menggoyang-goyangkan tanganku agar tangan mereka lepas. Mereka dengan teguh tetap menarik bajuku dan aku harus melepaskan tangan mereka.
" Hei, kalian ini ngapain sih?," tanya North Biru dengan kaget. Ya iyalah, aku ini seperti ibu yang akan meninggalkan dua anak kesayangannya untuk selamanya - tolong garis bawahi tulisan 'seperti' karena aku belum menjadi ibu-ibu.
" Mereka sedang memohon ampun padaku," ucapku dengan jengkel. Dia enggak peka apa kalau aku butuh bantuan disini?
" Ohh..," ucapnya sembari berjalan ke tempat sampah. Ia membuang kulit pisang ketempatnya dan kembali lagi ke tempatku. Sejujurnya, aku ingin ngamuk disini, tapi nanti fasilitas rumah sakitnya rusak. Hehe.
" Udahlah lepas aja tangan kalian. Lebay amat," ucap North Biru dan seketika tangan mereka berdua berpindah tempat. Aku langsung berterima kasih pada North Biru dan masuk kedalam. Ke ruang South Hijau.
Dwistas dan Dasa ikut masuk kedalam dan menyender di dinding.
Disitu, aku melihat ada North Dwiana, Central Putri, Central Ratu, Central Pamasa, Central Dayinta, West Merah, dan tentu saja anak yang terbaring lemah di kasur itu. Kasur yang melayang bagaikan tak terpengaruh oleh gravitasi bumi.
" South Hijau belum siuman?," tanyaku dengan melihat ke wajah anak laki-laki berambut putih itu.
" um.. belum," ucap North Dwiana. Aku melihat North Dwiana dengan raut wajah sedih. Aku pandai berbohong, dan dia tidak. Seperti North Biru.
" Ohh gitu, ya sudah. Aku akan menunggunya disini," ucapku seiring berpindahnya kakiku dan duduk di tempat duduk dekat kasur melayang itu. Kursinya juga melayang. Wah, sepertinya ini adalah ruangan mahal. Tapi, apakah mereka membayar?
" Oh iya, kamu mau makan apa East?," tanya Central Dayinta. Aku tidak tau apakah makanan disini sama dengan di bumi? Lebih baik, aku tanyakan Dwistas dan Dasa makanan apa yang mereka inginkan.
" Kalau Dwistas dan Dasa pesan apa?," tanyaku pada mereka berdua. Aku memperhatikan mereka berdua yang saling menatap sebentar dan tersenyum. Peristiwa itu sungguh menganggu mataku. Sangat silau.
Pinnya. Sepertinya Dasa memakai pin yang jika terkena sinar matahari akan terlihat silau. Sepertinya bagus, karena aku jarang melihatnya di Sekolah - kadang, orang kaya yang sombong suka pamer seperti itu, tapi tidak masuk dalam hitunganku.
" Aku suka beli soto, jadi aku pesan soto ke Central Dayinta," jawab Dasa dengan wajah yang sepertinya masih menyesali perbuatan tidak menyenangkan tadi. Aku hanya diam dan masih fokus melihat pinnya itu.
" Aku pesan yang manis-manis seperti coklat dan teman-temannya," jawab Dwistas dengan tersenyum. Aku hanya ber-ohh ria dan tidak memindahkan tatapanku dari pin itu.
" Aku sama dengan Dwistas. Tapi aku mau coklat. Jangan coklat hitam. Coklat putih aja atau coklat coklat," jawabku pada Central Dayinta. Ia mengiyakan permintaanku dan pergi bersama dengan tiga temannya.
West Merah yang sedari tadi diam, langsung berkata " jangan lupa kalau South Hijau pesan sate,". North Dwiana langsung panik dan berteriak.
" Jangan lupa kalau South Hijau ingin makan sate!," teriak North Dwiana yang tiba-tiba keluar ruangan dan sepertinya mengejar mereka berempat. Wah, sepertinya ia lari dengan kencang karena dibantu angin.
Langsung saja kututup pintunya. Ralat. Aku banting pintunya dan menimbulkan suara keras. Dwistas hanya tersenyum dan yang lain kaget setengah mati.
Aku berjalan lagi ke kasur South Hijau dan membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Di ruangan ini, hanya ada North Biru, Dwistas, Southeast Dasa, dan West Merah.
" Aku tau kalau kamu udah bangun! Enggak usah pura-pura kaya gitu, mesum!," teriakku ditelinga South Hijau dan menggoyang-goyangkan kasurnya. Ia tetap tidak mau bangun. Padahal, aku dapat merasakannya.
Aku melihat ke sekeliling dan tiap sudut ruangan ini. Tidak ada CCTV. Baguslah. Aku jadi bisa mengeluarkan amarahku.
" Temanmu itu tak pandai berbohong. Ajari dia cara berbohong yang baik dan benar dong!," sungguh, aku ingin menampar laki-laki ini sekarang juga. Tapi, nanti dia pingsan lagi. Tampar enggak ya?
" Tampar aja, kalau itu maumu," ucap West Merah. Ah, dia juga bisa baca pikiran ya. Bagus sih.
" Bagus sih kalau ada yang bisa baca pikiran disini selain si mesum rambut putih," ucapku dengan senyum yang menandakan kalau aku benar-benar marah. Bisa-bisanya ada orang yang berani membohongi seorang Luminosa.
" Keluarga Putih. Mereka bertiga adalah keturunan keluarga Putih. Sudah pasti mereka bukan asli dari sini.
Raja Putih, salah satu bangsawan yang kaya itu menikah dengan seorang perempuan dari distrik Timur. Dan katanya, Raja Putih berada disini, di Kahyangan. Ia salah satu dari beberapa bangsawan yang meninggalkan jejaknya di sini," cerita Dwistas dengan wajah yang datar.
Wow, aku baru tau Keluarga Putih. Sepertinya aku ketinggalan gosip di Sekolah. Tapi, sepertinya akan menjadi seru kalau aku dekat dengan salah satu keturunan Raja Putih yang bisa baca pikiran.
" Dan ia mewariskan kemampuan membaca pikiran siapapun pada kami bertiga," ucap North Biru dengan bangga. Aku hanya diam untuk mencerna lagi dan lagi. Yang aku inginkan hanyalah menampar anak ini, tapi kenapa malah menceritakan cerita seperti itu?
" Sayangnya, membaca pikiran seorang Luminosa lebih sulit daripada para Powerful," ucap South Hijau yang tiba-tiba bangun dari tidur pura-puranya. Langsung saja aku tampar dia dan nyerocos marah.
" kamu jangan berani bohongi aku dengan akting payahmu itu, mesum!," teriakku dengan wajah yang sudah memerah. Dwistas langsung mengatakan " kamu tau darimana kalau dia bohong?,".
" North Dwiana dan West Merah tidak pandai berbohong," jawabku dengan senyum terpaksa pada Dwistas.
" Apakah Luminosa bisa membaca pikiran?," tanya West Merah. Aku tidak tau apakah ia bertanya padaku atau pada Dwistas. Aku hanya diam dan menunggu seseorang menjawabnya.
" Dia bisa melakukan apapun yang ia suka. Tapi setiap orang memiliki batasannya masing-masing," ucap North Dwiana yang baru saja datang membuka pintu dan menutupnya kembali. Kenapa North Dwiana sudah kembali lagi ya?
" Aku mau keluar sebentar," ucapku berjalan keluar ruangan dan diam di tempat. Aku akan menguping sebentar.
Ketika aku memiringkan kepala ke sebelah kiri, terlihat bekas pukulan Dasa. Bekas pukulan itu seperti sedang menghajar mangsanya. Terlalu dalam, tidak mungkin aku masih hidup kalau ia melayangkan pukulan itu ke kepalaku.
Sembari asik melihat dinding yang jauh disana, aku menempelkan rapat-rapat telingaku di pintu.
" Hei, Dasa, jangan lupakan dinding yang tersakiti karena ulahmu," ucap North Dwiana dengan intonasi yang jutek. Aku yakin kalau Dasa akan membuka pintunya, jadi aku langsung berjalan melewati lorong dengan tergesa-gesa.
" East Luminosa, tunggu aku," ucapnya dengan suara yang berbisik padaku. Aku menoleh kebelakang dan menunggunya. Kulihat dia memperbaiki retakan dinding itu dengan tangannya sendiri. Tanpa disentuh. Siapakah dia?
" Kamu sebenarnya siapa?," tanyaku dengan mendekatinya dan melihat cara ia melakukannya.
" Aku adalah Powerful, aku salah satu dari 1/8 Power. Aku dari distrik Tenggara, dan aku mengendalikan tanah. Karena dinding ini terbuat dari tanah, aku bisa merubahnya kapanpun aku mau," jawabnya dengan menjelaskan secara detail - tidak detail juga ya.
" Oh iya, seorang Luminosa juga seorang Powerful. Kamu bisa merangkap dua atau lebih bakat istimewa ini. Luminosa memang diberikan kelebihan oleh Allah lewat perantaranya? Aku tidak tahu," ucapnya melanjutkan perkataannya tadi.
Aku? Bisa menjadi seorang Powerful seperti dia? Tapi, kekuatanku apa ya?
" Katanya mau ke kamar mandi, cepetan. Aku ngikutin dari belakang," ucapnya dengan mendorongku ke depan. Aku hanya mendelik dan yang tertera di otakku saat itu adalah..
Gila ini anak mau nemenin aku ke kamar mandi. Yang bener aja. Apa orang-orang enggak mikir yang aneh-aneh? -_-
Lorongnya bagus, mengingatkanku dengan lorong sekolah yang begitu tua. Apa mungkin lorong ini setua itu ya?
( Iapun ke kamar mandi dan Dasa menunggunya di luar. Ada beberapa perempuan yang lewat di depannya dan menyapanya. Mungkin, ia akan memiliki banyak fans disini.
Setelah itu, mereka kembali ke ruang rawat South Hijau, ketika di lorong..)
" Hei, kalian darimana aja?," tanya Central Dayinta. Aku hanya menjawab kalau kami berdua dari kamar mandi. Central Dayinta sempat mengernyitkan dahinya, dan aku mencoba menjelaskan padanya.
" Kita gak ngapa-ngapain di kamar mandi kok. Lagian juga, aku nungguin diluar, tanya in aja ke cewe cewe tadi. Mereka tadi ketemu sama aku kok. Terus sempet ngobrol juga," cerita Dasa dengan menggerak-gerakkan jarinya. Oh, sepertinya aku baru menyadari kebiasaan itu. Ia suka menggerakan jari-jarinya ketika menjelaskan sesuatu.
" Iya, kita gak ngapa-ngapain, keluar kamar mandi juga kita langsung pergi kesini. Tentunya lewat lorong, masa lewat lubang cacing, yang bener aja," ucapku dengan kata ambigu. Lubang cacing disini bisa berarti dua. Lubang cacing yang artinya lubang sebesar cacing dan lubang cacing yang artinya terowongan teoritis melalui struktur ruang-waktu yang memungkinkan perjalanan cepat antara satu titik ke titik lainnya yang berjarak puluhan hingga ratusan tahun cahaya secara singkat. Sumbernya dari perpustakaan besar Ganesapedia. Kalau enggak percaya, cari saja di web searcher Gugel.
" Oh, baguslah, ayo sini masuk," ajaknya masuk kedalam. Aku mempersilahkan Dasa yang masuk duluan. Awalnya, ia sempat menolak. " ladies first," begitu katanya. Tapi ia harus ingat satu hal. Aku bukan lady.
Karena kupaksa dengan nonverbal, akhirnya ia masuk duluan dan aku masuk yang terakhir. Ia kelihatan tinggi dari belakang. Dan aku melihat bajunya dengan seksama. Seperti ada sebuah tulisan. Tapi tulisan apa ya? Seperti tidak ada artinya. Mungkin akan kucari tahu nanti.
" East, ini coklatnya," lempar Dwistas ke arahku dan aku berhasil menangkapnya. Wow, dengan satu tangan, rekor terbaik haha. Aku langsung membuka bungkusnya dan memakannya dengan lahap. Aku kelaparan. Aku sangat sangat merasa kelaparan. Entahlah, pokoknya lapar.
" Terima kasih Dwistas," ucapku yang disambut dengan anggukan Dwistas. Yang lain asyik memakan makanan mereka. Kulihat North Dwiana dan North Biru mengobrol dengan asyik. Sepertinya mereka benar-benar dekat.
Dan aku melihat Dasa bersama Dwistas dan terlihat dekat sekali. Mungkin sebagai seorang partner memang seperti itu. Sangat dekat. Dan mungkin mereka menceritakan rahasia satu sama lain. Seandainya aku punya teman laki-laki seperti dia, mungkin aku tidak akan merasa gelisah karena rahasiaku takut bocor.
" Oh iya, kamarnya dimana?," tanyaku kepada orang-orang yang ada di ruangan itu. Dwistas langsung menghampiriku dan memintaku untuk mengeluarkan telgamku.
" Kamu pergi ke lantai 3, itu lantai khusus untuk ruang tinggal di gedung Eka. Aku akan mengirimkan informasi kamar mana yang akan kamu tempati nantinya. Sekarang nyalakan pertukaran datanya," ucapnya memerintah dan aku turuti. Lalu, file itu dikirimnya ke telgamku dengan cepat.
" Kalian yang sudah makannya lebih baik langsung pergi ke kamar masing-masing," ucap Dwistas dengan keras. Aku yang selesai pertama langsung pamit pada mereka. Aku keluar rumah sakit dan melihat betapa luasnya tempat ini. Dikejauhan, banyak sekali gedung-gedung aneh. Untungnya, rumah sakit ini tidak aneh. Baguslah.
~
Ternyata, gedung Eka sangat dekat. Hanya menaiki jembatan dan sampailah ke gedung Eka. Langsung saja aku menuju lantai 3. Aku menuju lift dan ternyata, liftnya mirip dengan yang ada di bumi! Lift itu transparan dan tidak membentuk balok, karena kita hanya menginjak sebuah perisai tipis dan dapat bergerak leluasa. Baru pertama kali aku mencoba lift dunia lain.
Angka 3 tertera didepanku dan aku langsung memasuki lantai itu. Lalu, aku membuka telgamku dan mencari file dari Dwistas. Informasi kamar. Nah, ketemu.
Disini tertera nomor kamarnya yaitu 2. Dan disini tertulis nama West Luminosa, North Luminosa, South Luminosa, dan East Luminosa. Yes! Aku sekamar dengan mereka! Langsung saja aku cari kamar nomor 2 ini dan mengetuknya.
" Halo, ini dengan East Luminosa yang baru saja menyelamatkan dunia," ucapku dengan sok kepedean - menyelamatkan dunia dari mana.
Ada yang membukanya! Yeay, aku bersyukur ada yang membuka karena ini masih tengah malam. Malam yang melelahkan.
" East Luminosa??!! Wah! Akhirnya kamu disini juga!," teriak South Luminosa kegirangan dan memelukku. Aku membalas pelukannya dan tertawa dengan tingkah laku keluargaku yang satu ini.
" Kamu harus ganti baju dulu, akan aku carikan," ucapnya sembari mencarikan baju untukku. Aku melihat-lihat atap kamar ini dan astaga, terlalu indah untuk dikatakan.
" Seni terlalu indah untuk dilihat," ucapku pada saat itu.
Komentar
Posting Komentar